Ekstrinsik VS Intrinsik
Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus
harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial.
Hadis di atas juga ingin mengatakan,
agama jangan dipakai sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di
hadapan orang lain. Hal ini sejalan dengan definisi keberagamaan dari Gordon W
Allport. Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan
intrinsik.
Yang ekstrinsik memandang agama
sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan demikian rupa agar
dia memperoleh status darinya. Ia puasa, misa, kebaktian, atau membaca kitab
suci, bukan untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain
menghargai dirinya. Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak
menghujam ke dalam dirinya.
Yang kedua, yang intrinsik, adalah
cara beragama yang memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan
ajaran agama terhujam jauh ke dalam jiwa penganutnya. Adanya internalisasi
nilai spiritual keagamaan. Ibadah ritual bukan hanya praktik tanpa makna. Semua
ibadah itu memiliki pengaruh dalam sikapnya sehari-hari. Baginya, agama adalah
penghayatan batin kepada Tuhan. Cara beragama yang intrinsiklah yang mampu
menciptakan lingkungan yang bersih dan penuh kasih sayang.
Cara beragama yang ekstrinsik
menjadikan agama sebagai alat politis dan ekonomis. Sebuah sikap beragama yang
memunculkan sikap hipokrit; kemunafikan. Syaikh Al Ghazali dan Sayid Quthb
pernah berkata, kita ribut tentang bid’ah dalam shalat dan haji, tetapi dengan
tenang melakukan bid’ah dalam urusan ekonomi dan politik. Kita puasa tetapi
dengan tenang melakukan korupsi. Juga kekerasan, pencurian, dan penindasan.
Indonesia, sebuah negeri yang
katanya agamis, merupakan negara penuh pertikaian. Majalah Newsweek edisi 9
Juli 2001 mencatat, Indonesia dengan 17.000 pulau ini menyimpan 1.000 titik api
yang sewaktu-waktu siap menyala. Bila tidak dikelola, dengan mudah beralih
menjadi bentuk kekerasan yang memakan korban. Peringatan Newsweek lima tahun
lalu itu, rupanya mulai memperlihatkan kebenaran. Poso, Maluku, Papua Barat,
Aceh menjadi contohnya. Ironis.
Kita kerap melihat jutaan uang
dihabiskan untuk upacara-upacara keagamaan, di saat ribuan anak di sudut-sudut
negeri ini tidak dapat melanjutkan sekolah. Jutaan uang dihamburkan untuk
membangun rumah ibadah yang megah, di saat ribuan orang tua masih harus
menanggung beban mencari sesuap nasi. Jutaan uang dipakai untuk naik haji
berulang kali, di saat ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut karena
tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Secara ekstrinsik mereka beragama,
tetapi secara intrinsik tidak beragama
cara beragama yang benar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar